Monday, February 16, 2009

Bulu Herwei dari Kalimantan Tengah

Bulu-bulu yang menghiasi pakaian adat itu menyedot pandangan mata pengunjung. Kali ini giliran Kalimantan tengah yang akan menunjukan salah satu tariannya.
Setelah pembawa acara Kemilau Nusantara 2008 membacakan susunan acara, tak lama kemudian para penari pun keluar dari belakang panggung. Para wanita dan pria yang mengenakan bulu-bulu di atas kepalanya ini tak langsung naik ke atas pentas. Mereka menyapa para pengunjung dengan berjalan ke depan panggung. Semua terpana. Semua pengunjung, terutama fotografer langsung mengerubungi para penari. Seperti lalat yang mengerubungi makanan.
Menarik, sungguh menarik perhatian. Pakaian merekalah yang menarik perhatian pengunjung. Penampilan nyentrik ini sangat menggoda para fotografer untuk mengabadikan keunikan kalimantan Tengah ini.
Di atas kepala perempuan terdapat tiga bulu panjang serta banyak bulu yang berderet dibagian rambut belakang dan punggung mereka. Sedangkan pada kepala laki-laki tepasang lebih dari sepuluh bulu panjang. Memberikan kesan megah dan “Wah” bagi yang mengenakannya.
Jika diperhatikan dengan lebih seksama, ada aksesoris lain yang sungguh menimbulkan rasa ingin tahu. Para penari wanita menggunakan kalung yang tersusun atas benda yang sepintas seperti tulang atau taring. Ternyata benda putih itu adalah taring babi hutan, taring beruang, dan taring buaya.
Berbeda dengan kalung wanita, kalung pada pria berukuran lebih besar. Penari pria juga mengenakan hiasan pinggul yang disebut penyang. “Itu semua tersusun dari taring babi, berung dan buaya, yang pastinya hewan yang ada di Kalimantan,” ujar Daya, pemimpin rombongan kesenian dari kalimantan.
Para penari perempuan dengan sangat ramah memberikan senyum dan posenya kepada para fotografer yang sesekali mengarahkan gaya mereka. Lain halnya dengan penari laki-laki. Tanpa senyum, dan gestur yang gagah, mereka berpose dengan sedikit membuka lebar matanya,serta bergaya menggunakan senjata yang mereka bawa.
Sambil mengibaskan mandau dan perisai yang disebut talawang, para penari pria bergaya seolah mereka akan berperang. Sesekali penari wanita menghempaskan selendangnya dan memamerkan bulu burung Herwei yang terpasang pada lengan kiri mereka.
Sekitar selama sepuluh menit mereka terus berpose. Matahari sudah semakin terik, maklum saat itu matahari tepat di atas kepala. Sambil tertawa dan kepanasan seorang penari perempuan berbicara dengan pelan, “Aduh, kita kan bukan model.”
Kemudian mereka langsung naik ke atas pentas. Sebelum memulai pertunjukannya, salah seorang pemain musik diajak berbincang oleh pembawa acara. Ternyata, kelompok kesenian dari sanggar Bentang Satugiang ini sudah melanglang buana ke manca negara. “Kami pernah tampil ke beberapa negara, seperti Malaysia, Brunai, Cina, dan australia,” ujarnya.
Setelah semua sudah siap, mereka langsung meranikan tarian Asang. Gerakan-gerakannya yang di tarikan oleh penari laki-laki sangat tegas, ditambah lagi dengan ekspresi wajah yang garang. Sesekali mereka berteriak dan menghentakan kaki. Tarian ini semakin terasa hidup dengan iringan musik dari alat musik khas Kalimantan Tengah.
Gendang besar yang terbuat dari kulit sapi membuat tariah semakin bertenaga. Gendang kerempet yang terbuat dari kulit kambing dan tangkung gendang dari besi membuat alunan musik semakin indah.
Para penari perempuan terlihat gemulai dan serasi dengan iringan melodi dari kecapi. Perpaduan antara alat musik dan tarian ini menyuguhkan pertunjukan seni yang membuat penonton terpukau. Tarian semakin menarik ketika salah satu penari laki-laki dikepung oleh para penari yang lain. Tameng yang dipegang tangan kirinya ditarik oleh beberapa tali yang dipegang oleh penari lain.
Konflik dalam tarian inilah yang membuat tarian semakin hidup. Penari yang dikepung itu seolah penjahat yang ingin dikeroyok. Ternyata tarian Asang ini memang tarian perang. Tarian yang bercerita tentang penjahat ini berasal dari legenda di Kalimantan Tengah.
Ketua rombongan kesenian ini menjelaskan bahwa penari yang ditarik dengan tali itu adalah penjahat. “Ia menyerbu dan ingin mengganggu satu kampung. Dalam legenda Asang ini, ada suatu kesepakatan, yaitu “bale”, yang berarti balas darah dengan darah, bayar beras dengan beras,” ujar Daya.
Setelah tarian selesai, penampilan berikutnya ialah sebuah lagu tentang persatuan indonesia dan kebudayaan Indonesia. Seorang penari pria menyanyikan lagu sambil sesekali melihat teks lagu yang ia pegang. Meskipun tidak hapal, lagu ciptaan salah seorang musisi ini dinyanyikan dengan logat khas kalimantan. Terdengar indah dengan alunan kecapi.
Semua penonton memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan. Inilah bukti loyalitas seniman dalam memperkenalkan kebudayaannya.
Meskipun lelah masih terasa, mereka telah menyajikan pertunjukan yang indah. Bayangkan, mereka baru tiba di Bandung pukul 02.00 pagi dan harus bersiap-siap sejak subuh. Wajar saja, untuk memperoleh penampilan yang maksimal mereka tentu harus mempersiapkannya dalam waktu yang relatif lama.
Penampilan mereka bukan hanya hari ini saja, keesokan harinya mereka juga akan mengikuti rangkaian acara Kemilau Nusantara berikutnya, yaitu karnaval budaya.
Hari minggu, sejak pukul 08.00 mereka sudah siap di Pusdai, Bandung. Ada yang berbeda dari penampilan mereka hari ini. Kelompok dari Kalimantan Tengah ini bertambah semakin ramai dengan sepasang pengantin yang menggunakan pakaian khas Kalimantan Tengah. Pakaian pengantin ini sekilas terlihat sederhana.
Namun, ada satu bagian yang mencirikan bahwa pakaian pengantin itu adalah pakaian khas kalimantan tengah. Bagian itu adalah bulu burung Herwei yang dipasang pada bagian kepala pengantin. Bulu tersebut dipasang pada pengikat kepala yang berhiaskan manik-manik.
Seperti bulu-bulu yang digunakan para penari, bulu burung Herwei inilah yang paling menarik perhatian. Sepintas terpikir, bagaimana nasib burung yang bulunya dipakai untuk aksesoris? Apakah burung-burung itu dibunuh hanya untuk diambil bulunya?
Ternyata, jawabannya tidak sesadis yang dibayangkan. “Bulunya diambil dari burung yang sudah mati. Burung Herwei mati dikandang,” jawab Daya.
Sering kali orang luar Kalimantan menyebut burung Herwei adalah burung cendrawasih. Namun, Daya membantahnya, “burung Herwei bukan burung Cendrawasih. Hanya orang susah mengatakannya,” ujar guru Sekolah Dasar ini.
Selain para penari dan pengantin yang menggunakan bulu burung Herwei, ada juga seorang dayang. Dayang ini merupakan ikon Kalimantan Tengah dalam karnaval ini.
Sekitar pukul 09.30 peserta karnaval asal Kalimantan Tengah dipanggil oleh panitian untuk bersiap-siap. Mereka berjalan dari Pusdai hingga depan Gedung Sate bersama-sama seluruh peserta karnaval lainnya. Di sepanjang perjalanan karnaval ini, para penari menarikan tarian yang lebih sederhana dengan diiringi musik khas Kalimantan.
Para seniman ini merasa senang melihat apresiasi yang diberikan oleh masyarakat. Acara ini baru pertama kali mereka ikuti. Ada kebanggaan dan kebahagiaan yang mereka rasakan. Walaupun memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, mereka senang karena bisa berkumpul bersama-sama para seniman dari daerah lain.
“Dengan acara kebudayaan seperti ini, seluruh kebudayaan bisa bertemu dan saling mengenal,” ujar Daya.
Budaya adalah pemersatu bangsa. Daya dan kawan-kawan berpendapat bahwa acara seperti ini perlu lebih banyak mendapat perhatian dari pemerintah. “Pemerintah harus lebih memerhatikan acara seperti ini, agar bangsa kita sendiri tahu. Dengan begitu diharapkan adat istiadat jangan berubah dan luntur, serta terkontaminasi dengan peradaban asing,” ujar daya dengan semangat.

Andi Supardi : “Seni adalah Panggilan Jiwa”

Setiap minggu pagi, Andi pergi ke Perkampungan Betawi Setu Babakan di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Bersama anaknya, ia mengendarai motor dari rumahnya di Cimanggis. Sesampainya di sana, puluhan anak-anak sudah menantinya di panggung, tempat mereka berlatih tari. Nia juga merupakan salah satu murid tarinya.
Andi adalah pelatih tari di Sanggar Betawi itu. Sosoknya yang bersahaja, membuat anak-anak tak sabar untuk berlatih tari dengannya. Suasana latihan berlangsung santai, namun tetap disiplin. “Saya mengutamakan kedisiplinan, disiplin waktu, disiplin gerakan, dan disiplin berpakaian, ”ujar Andi yang biasa disapa abang Andi.
Tak tampak rasa bosan pada wajah anak-anak yang sudah beberapa jam berlatih beberapa tarian. Andi, mengatakan ia selalu berusaha agar anak-anak tidak cepat bosan. Sambil sesekali mengeluarkan celotehan yang membuat anak-anak tertawa, Andi dengan sabar terus mengajari anak-anak menari.
Menjelang sore, seusai latihan Andi bercengkrama dengan murid-muridnya. Sosoknya yang humoris membuat anak-anak terus tertawa. “Bagi aku yang penting bisa menempatkan diri, kapan jadi teman kapan jadi guru,” jelasnya.
Sore itu Andi menceritakan berbagai kesenian Betawi, salah satunya lawak. Andi memberikan pelajaran mengenai lawak dengan santai. Anak-anak pun semangat dan terus tertawa.
Andi adalah sosok yang begitu sederhana. Kedekatannya dengan murid-muridnya membuat para mudir begitu menikmati pelajaran seni.
Di Sanggar Betawi Setu Babakan ini, Andi mengajar berbagai kesenian Betawi, mulai dari tarian ,lawak, lenong, bahkan hingga gambang kromong. Tarian yang diajarkannya pun beragam, seperti tari gegot, sirih kuning, lenggang nyai, topenggong, dan tari ngarojeng,
Andi yang sudah sejak 2002 mengajar di Sanggar ini mengutamakan unsur kedekatan dalam melatih anak didiknya. “Yang penting bagaimana membangun suasana senang agar anak-anak tetap senang untuk belajar seni,” jelas ayah dari tiga anak ini.
Dengan membangun kedekatan inilah ia mampu menjaga kepercayaan pada orang tua untuk menitipkan anaknya belajar kesenian betawi di sanggar ini. Andi, sebisa mungkin melakukan pendekatan dan memberi pengertian serta menjaga kepercayaan para orang tua. “Aku selalu memberi pengetian bahwa sanggar ini adalah milik bersama, bukan milik aku,” jelasnya.
Menurutnya, kesenian itu harus ditanamkan sejak dini agar tumbuh kecintaan. Namun, ia menyayangkan banyak orang yang kurang peduli pada seni. “orang sekarang mah mikirnya yang penting pinter,”ujarnya.
Namun, ia juga tidak bisa menyalahkan juga sekarang banyak orang yang kurang peduli pada seni dan budaya. Menurutnya semua itu sangat dipengaruhi lingkungan. Disinilah peran keluarga untuk memperkenalkan kebudayaan pada anak mereka sejak dini.
Selain itu, pendidiksn budaya juga harus terus ditingkatkan. “tiap sekolah seharusnya punya kurikulum budaya betawi,” jelasnya. Dibeberapa sekolah di Jakarta ada yang masih dan sudah menerapkan kurikulum kesenian. Namun, tenaga yang kurang membuat kesenian itu tidak tersampaikana secara maksimal. “guru kesenian masih banyak yang kurang menguasai kesenian budaya betawi itu senidi, tidak mengajarkan secara langsung bagaimana kesenian betawi itu,” jelas Andi
Namun, ia bersyukur masih banyak orang yang memiliki ketertarikan pada budaya betawi. Bahkan, menurutnya, banyak juga bukan orang Betawi yang tertarik pada kesenian Betawi ini. Namun, ia sendiri masih menyayangkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kebudaayaan ini.
“Pekerjaan dinas kebudayaan itu apa sih? Melestarikan, mengembangkan dan menjaga kebudayaan kan?,” jelasnya penuh semangat. Ia berpendapat apresiasi pemerintah terhadap kebudayaan kurang. Hal ini terlihat dari kurangnnya acara-acara kebudayaan yang diadakan.
Padahal, menurutnya, lewat acara atau festival kebudayaan inilah orang-orang bisa mengetahui kebudayaan betawi. “Gimana mau peduli dan cinta seni kalo apa aja seninya ngga tau,” ujar Andi.
Andi yang memang keturunan seniman Betawi ini memang sangat peduli dengan kesenian Betawi. Kakeknya adalah salah satu pendiri kelompok Topeng Betawi di Jakarta tahun 1918. Darah seni inilah yang membuatnya merasa terpanggil untuk terus mengembangkan kebudayaan dan kesenian Betawi. “Ya gimana, udah panggilan jiwa,” ujarnya tersenyum.
Lelaki yang masih satu kakek dengan mandra ini mengaku, seni sudah menjadi bagian dari hidupnya. ““Mau ngapain lagi, darah seni udah ngalir. Hidup ngga bisa lepas dari seni. Kebetulan aku suka, aku seneng, ya mau ngapain lagi, ” ujar lelaki kelahiran 1961 ini.
Ia belajar seni secara otididak dari panggung ke panggung. Sejak kecil ia sudah mencitai seni karena dorongan keluarga. Ketika berumur 7 tahun ia sudah ikut orang tuanya untuk tampil di festival budaya di Bandung. Saat itu, ia ikut ambil peran dalam cerita Sarkawi dan cerita topeng yang menceritakan kesedihan. “Mungkil awalnya dari situ saya semakin cinta seni. Saat itu kami dapat penghargaan yang cukup baik,” ujarnya
Hingga saat ini, bahkan menurutnya hingga kapanpun ia tak akan pernah lelah untuk terus melestarikan budaya betawi. Ia berpendapat, kebudayaan bangsa yang kini banyak diakui negara lain itu tak lain karena bangsa kita sendiri. Menurutnya, semua bisa dijaga, tergantung bagaimana kita bisa menjagannya.
Oleh sebab itu, Andi sangat berharap, pemerintan benar-benar memperhatikan masalah ini. Ia ingin, Gubernur Jakarta yang orang Betawi mampu menjadikan Budaya Betawi tuan rumah di rumahnya sendiri.
Ia sangat mengharapkan wujud perhatian pemerintah dalam memberikan subsidi pada sanggar akar berkembang. Menurutnya, pemerintah sangat lamban memberi bantuan. “Pernah minta subsidi buat sound system sanggar, eh dikasihnya beberapa bulan kemudian,” jelas Andi dengan nada kecewa.
Selain seni itu sendiri, pemerintah juga harus memperhatikan seniman-senimannya. Menurutnya, setidaknya ada tunjangan untuk para seniman. “Guru punya tunjangan tapi seniman kaga,” ujarnya.
Namun, lelaki yang masih terlihat muda ini tak pernah mengeluhkan masalah uang. Ia masih bersyukur, Sanggar Betawi tempatnya mengajar masih bisa berdiri dan berkembang walau hanya dari iuran anggotanya sebesar lima belas ribu rupiah perbulan. Uang itu digunakan untuk keperluan sanggar dan transport pelatih.
Andi yang juga memiliki kelompok lenong dan gambang kromong ini mengaku bersyukur atas penghasilannya. “Alhamdulilah, saya masih memperoleh penghasilan cukup dari panggilan manggung di berbagai tempat,” jelas Andi.
Baginya yang terutama adalah kepuasan batin, bukan sekedar uang. Ia sangat bahagia bisa menghibur orang dan berkarya. ”Kepuasan dan kebahagiaan itulah yang tidak bisa dibeli dengan uang,” tutur Andi sambil tersenyum.

Oleh Resi Fahma G
Narasumber :
Andi Supardi
Alamat : Jalan raya Gadok gang Kenanga RT 06/07 no 51 Cimanggis, Jakarta.

Tuesday, January 20, 2009

Panglima Viking yang Kontroversial

Persib adalah salah satu tim Liga Indonesia yang memiliki supporter fanatik. Viking atau yang anggotanya sering juga disebut Bobotoh kerap kali membuat kerusuhan pada setiap pertandingan. Ayi ”Beutik” Suparman lah yang berdiri di depan semua ini. Ia adalah sosok yang memiliki kendali akan semua supporternya. Ia adalah sosok bapak bagi para Bobotoh.

Untuk dapat mengorek lebih jauh lagi mengenai sosok yang sering disebut panglima ini bukanlah perkara mudah. Beberapa kali saya datang ke markas Viking untuk menemui Ayi ”Beutik” Suparman namun tidak berhasil menemuinya. Keesokan hari setelah Persib dikalahkan oleh Persitara, saya baru berhasil bertemu ia di jalan Banda, Bandung. Awalnya, kami membuat janji untuk bertemu di Saung Angklung Ujo pukul 14.00, karena disana ada acara Viking. Namun, setelah beberapa lama saya menunggu ternyata ia tidak datang. Kemudian saya telepon, ia mengatakan bahwa ia tidak datang kesana. Ia baru bangun tidur, mungkin karena kelelahan setelah mendukung Persib kemarin, ditambah lagi Persib menelan kekalahan. Saya sempat berfikir bahwa ia tidak bersedia diwawancarai karena ia kecewa atas hasil pertandingan kemarin.

Kemudian pertemuan kami diundur dua jam lagi dan lokasi berubah. Lokasi pertemuan pun disepakati, yaitu di markas Viking dan tempat menjual merchandise Viking, di Jalan Banda. Di sana saya berbincang-bincang dengan Viking lainnya. Mereka ramah, tidak tergambar di benak saya kalau mereka berbuat anarki di lapangan. Ada yang mengatakan kalau Ayi tidak akan datang. Karena penasaran, saya menghubungi ia lagi. Ternyata mobilnya mogok dan ia menyuruh saya menunggu. Setelah satu jam menunggu, akhirnya ia datang juga.

Ia datang mengunakan motor bersama istri dan kedua anaknya. Mereka terlihat seperti keluarga yang sangat harmonis. Terlebih lagi kekompakan mereka dalam berpenampilan. Seluruh anggota keluarga menggunakan atribut Viking, kecuali anaknya yang masih bayi. Istrinya menggunakan baju biru bertuliskan Persib Viking, begitupun dengan Ayi dan anak pertamanya.

Ada sesuatu yang unik dari penampilan mereka, yaitu model rambut Ayi dan anaknya sama dengan model mohawk, yang membedakan hanya warna rambut. Ayi yang berbadan sedikit tambun dan besar serta berambut berwarna pirang terlihat lebih muda dengan pakaian yang ia pakai. Ia menggunakan celana pendek selutut dengan kaos serta topi baret.

Setelah memarkir motor, ia dan keluarga berbincang-bincang dengan anak-anak Viking yang lain sambil sesekali membahas pertandingan kemarin dengan menggunakan bahasa sunda. Sosoknya terlihat begitu bersahabat, ia pun menyapa saya dengan sangat ramah. Ia senang tertawa ketika berbicara. Bahkan, saya pun merasa nyaman ketika mewawancarainya. Kesediannya meluangkan waktu, termasuk lewat telepon, membuat saya merasa dekat dengannya.


Saya pun berkenalan dengan anak dan istrinya. Istrinya, Nia Dasmawati adalah seorang guru SD. Anak pertama mereka, Jayalah Persibku baru berumur lima tahun dan anak bungsunya yang masih bayi bernama Usab Perning. Nama kedua anaknya itu diberikan karena kecintaannya pada Persib.


Ayi menikah pada saat umurnya 37 tahun. Dengan background sebagai pemanjat tebing dan kemampuannya dalam hal pemetaan, Ayi bekerja pada bagian pemetaan pada perusahaan konsultan asing. Ia merupakan lulusan Institut Tekhnologi Bandung jurusan Geodesi. Ia juga banyak tahu dan mengenal banyak tempat di Indonesia


Sosok Supporter Viking ini memang agak lain daripada yang lain. Kadang-kadang ia berlaku urakan dan terkesan semau gue di stadion. Saat mendukung tim kesayangannya itu, ia sering berpakaian nyentrik. Teriakan-teriaknnya membuat stadion menjadi berwarna. Kecintaannya pada sepak bolalah yang menjadikan dia seperti sekarang ini. Panglima adalah julukan yang ia peroleh dari para supporter Viking. Setiap ada bentrokan, ia selalu berdiri dibarisan paling depan. Keberanian inilah yang membuatnya menjadi sosok panglima bagi Viking.


Salah satu pendiri Viking ini memiliki loyalitas yang sangat tinggi pada Persib. Hal ini terlihat dari dukungnnya di setiap pertandingan. Telah banyak pengorbanan yang telah ia berikan untuk Persib dan Viking, bukan hanya materi melainkan juga kepentingan pribadinya. Beberapa kali ia ditahan karena membela harga diri Persib yang akhirnya berbuah kerusuhan. Dirinya yang kontroversial ini membuatnya semakin disegani oleh supporter lawan.

Dukungannya ini terlihat bukan hanya di lapangan melainkan usaha yang ia dirikan. Persib adalah salah satu tim di Liga Indonesia yang memiliki pengelolaan supporter yang cukup baik. Selain itu, mereka memiliki usaha penjualan merchandise.


Selama hidupnya, Salah satu pendiri Viking ini tidak pernah membayar tiket karena ia selalu memanjat pagar keamanan. Baginya, apapun dilakukan demi sepakbola. Sebelum dan sesudah mewawancarainya, saya mengambil gamb ia beserta keluarganya. Gayanya masih terlihat seperti anak muda, tidak tergambar umurnya sudah 40 tahun lebih. Berikut wawancara Resi Fahma dengan Panglima Viking, Ayi Suparman pada hari minggu, 2 Desember 2007, di Jalan Banda, Bandung.

Sejak kapan mendukung Persib?
Kalau di Bandung dukung Persib itu warisan dari keluarga. Semuanya yang nonton di sini semuanya warisan karena fanatisme keluarga mereka nonton Persib. Dari dulu, warga Bandung kalau Persib maen pasti nonton, jadi kebawa-bawa. Orang rumah itu semuanya nonton Persib

Dapet inspirasi dari mana untuk membuat komunitas supporter Persib, yaitu Viking?
Viking ini adalah sekumpulan anak-anak yang biasa nonton di tribun selatan. Sebenarnya kenal sudah lama dengan anak-anak trubun selatan itu, cuma diproklamirkannya itu baru tahun 1993. Jadi, ya kumpulan anak-anak yang garis keras kalau di stadion. Waktu itu saya ngundang tiga daerah. Jadi waktu itu Viking terdiri dari tiga daerah, yaitu daerah saya daerah Pasir luyu, Heru daerah Cibangkong, Haris dari daerah Pasundan dan ada dua orang lagi dari jalan Bandung. Waktu itu berembuk rapat di rumah saya. Tahun 17 Juni 1993 lahirlah Viking.

Apakah aliran garis keras tersebut?
Jadi, tim viking waktu itu nggak banyak, cuma empat puluh atau lima puluh orang, tetapi di stadion itu memberi warna. Kalau ada wasit tidak adil, langsung teriak dan masuk ke lapang. Dihalangi oleh polisi dan tentara, lalu berantem sama polisi. Semenjak itu Viking mulai diperhatikan. Yang lima puluh orang itu gila, terus menyebarkan virus. Lama-lama ada yang suka dan ada yang tertarik. Jadi, akhirnya seperti ini, jadi banyak.
Dulu kalau mau masuk Viking itu syaratnya harus berantem. Jadi kalau nonton ke Jakarta di Lebak Bulus harus berantem. Setelah itu semakin banyak anggota garis kerasnya dan membludak. Jadi nggak bisa kaya gitu lagi, kan ada banyak perempuan dan anak kecil yang masuk jadi anggota. Jadi, kalau mau jadi anggota harus ngambil kartu anggota dulu, syaratnya harus nonton dulu ke lawan. Misalnya nonton ke Tanggerang. Tapi, lama kelamaan makin membludak lagi, ya seperti biasa aja

Waktu anggotanya masih sedikit, kenapa harus pakai syarat berantem dulu?
Ya kan garis keras, semuanya holigan. Wah, itu favorit kalau berantem. Ada si Odoy itu mau masuk. Oke, siap kamu harus berantem sama supporter tamu. Sampai pingsan dia.

Apakah pernah terfikir untuk jadi pemain, bukan jadi supporter?
Ya, tapi ngga kesampean. Ngga bisa aja main bola, cuma saya hobi sepak bola, main-main aja.

Apa hobi anda ?
Sukanya, nonton bola sama musik.

Kenapa sih musti ada sosok panglima di Viking ?
Jadi, Viking ini kumpulan supporter yang bisa dibilang melibatkan puluhan ribu anggota, tetapi tidak ada struktur kepengurusan. Jadi, istilah panglima itu adalah bapak dari anak-anak. Jadi, kalau berantem atau ada apa-apa saya selalu yang paling depan. Julukan itu sendiri nggak ada yang ngangkat. Karena di Viking sendiri struktur organisasinya ga jelas. Pernah mau dilegalkan, dibadanhukumkan, tapi ternyata udahlah pure aja supporter. Nggak mesti ada HRD, tata tertib, kalau macem-macem pukul aja tata tertibnya.

Kapan anda merasa nikmat menjadi panglima Viking?
Saya ngga merasa diri saya jadi panglima. Panglima itu julukan dari anak-anak karena kalau berantem saya selalu di depan. Waktu di Jakarta di Komdak saya pernah ditahan dua kali. Saya ditahan gara-gara pas Persib kalah mobil digulingkeun keluar bensin terus dibakar terus saya langsung ditahan. Terus beberapa kali di Komdak. Di Bandung beberapa kali di tahan. (sambil tertawa)

Apa Suka duka jadi panglima?
Dukanya, ngerepotin orang tua pas lagi ditahan

Waktu itu umur berapa?
Saya masih umur 23 atau 24 tahun

Waktu itu sudah menikah?
Belum, nikah itu baru lima tahun kemarin. Pas nikah umur itu 37 tahun.

Apa peran anda sebagai panglima?
Saya mendampingi kalau ada yang macam-macam turun ke lapangan, saya tegur dan bilangin.

Apa itu tanggung jawab anda?
Iya, kadang-kadang dipukul sama yang laen, jadi efek jera aja. Jadi, laen kali nggak gitu lagi.

Waktu ditangkep, ngerasa kapok nggak?
Malah tambah pingin lagi.

Kan sering banget bentrok. Pernah takut ga?
Justru nikmatnya nonton bola itu di situ.

Kenapa nonton bola mesti rusuh?
Bukan musti rusuh. Tetapi, di saat harga diri kita dan kebanggaan kita terusik, misalnya dilemparin, dicaci maki, dihina. Saat itu harga diri kita bangkit. Membela harga diri ternyata bangga dan indah sekali.

Apa Batesannya harga diri anda terusik?
Dihina di lapang, ya kita serang aja yang menghina kita. (misal ada yang bilang Persib dengan kata-kata kasar) ya kita cegat aja dan pukulin.

Bagaimana jika ada oknum-oknum yang sengaja memancing keributan?
Tapi sebatas menjaga nama Persib ya nggak masalah, sah-sah saja. Melempar dan mukul ga masalah.

Kenapa harus bentrok kalau bisa damai?
Ya, kalau nggak macem-macem mah, kalau kita datang mereka nggak menghina kita, tapi disambut, ya kita juga nggak apa-apa. Tapi kalau kita diusik, ya serang aja. Itu sering terjadi, di Jakarta, di Sleman, di mana juga pasti gitu. Sepak bola antar RT aja suka ribut.

Bagaimana masalah Viking dan The Jak yang bisa sampai seperti musuh bebuyutan?
Sebenarnya itu dulu waktu the Jak datang ke Bandung selalu tidur di rumah saya. Jadi waktu itu hubungannya mesra ngga berantem. Ya tahun 1998 mulai berantem. Dulu kalau saya ke Jakarta saya tidur di sekertariat Persija di Menteng.

Kenapa sekarang bisa jadi begini?
Sebabnya, waktu itu stadion Siliwangi ini steril nggak pernah supporter lain datang ke Bandung. Waktu itu rapat. ”Kumaha mang ayi? Persija datang.” Saya bilang peringatkan saja jangan macam-macam, tetapi terjemahan anak-anak lain. Mereka malah langsung dipukulin. Setelah itu pas kita nonton PSSI lawan Irak, kita dipukulin juga. Mulai awal perseteruan itu adalah salah menerjemahkan kata-kata saya. Saya bilang kalau anak The Jak datang ke Siliwangi kalau macem-macem pukul aja. Anak-anak menerjemahkannya salah, pas dateng udah langsung dipukul. Itu adalah dosa saya. Dosa saya itu yang membuat Bandung dan Jakarta dan puluhan ribu massa sampai berantem itu saya yang pertama salah.

Sekarang masih ada hubungan dengan the jak?
Masih ada, tapi tetep harus dilestarikan. Kalau saya sama dia nggak apa-apa. Suka sms-an, tapi dalam tanda kutip dalam sms-an itu, jadi menjaga masing-masing. Saya menghormati dia, dia juga menghormati saya.

Apa ada upaya untuk memperbaikinya?
Ya udah, pure aja. Toh sepak bola di mana-mana adalah seperti itu. Ada ketegangan antar setiap rival. Di spanyol, di luar negeri di seluruh dunia hal seperti itu ada sepak bola seperti itu.

Apa tidak ada upaya lain?
Ada, dulu saya pernah dipanggil Sutiyoso, tetapi saya nolak. Pernah saya diundang ke Gubernur Jakarta tetapi saya tolak. Jadi, satu-satunya sisa hutang Sutiyoso itu mendamaikan Viking sama Yang lain dia sudah sukses, Megawati nggak bisa protes. Semua programnya yang kurang itu cuma satu yaitu mendamaikan Viking sama The Jak dan yang menolak itu saya

Kenapa menolak, padahal tadi anda bilang itu dosa anda?
Ya, tapi saya daripada kehilangan banyak anggota. Jadi, sudah mendarah daging kalau seandainya Viking takut sama the jak saya nggak mau kehilangan banyak angggota. Biarin saja seperti air yang mengalir nanti ada muaranya. Muaranya, mungkin persija nggak punya biaya lagi, nggak didukung lagi sama gubernur karena Persijatim aja dulu dijual, Persitara sekarang nggak punya modal. Itulah Sutiyoso, akal-akalan politiknya dia aja. Mungkin aja setelah Sutioyoso nggak ada mungkin aja, seperti gajih pemain akan telat. Mungkin muaranya seperti itu.

Tetapi, apa kebencian itu sudah benar-benar mendarah daging?
Nggak apa-apa, dalam sepak bola memang seperti itu. Di Madrid jauh lebih parah.

Bukankah lebih enak damai daripada kerusuhan yang menelan korban?
Nggak apa-apa sepak bola mah. Kaya di Lazio aja ada supporter yang meninggal, padahal itu di Itali yang sepak bolanya sudah maju. Itu adalah bahasa sepak bola, nggak apa-apa. Jadi, peran di sini adalah meminimalisir kerusuhan. Yang paling berperan disini adalah tugas polisi dan panpel (panitia pelaksana). Dan itu yang berlum terlaksana. Kalau di Luar negeri itu bisa diminimalkan. Dan saya inginnya seperti i tu.

Bisakah kesadaran itu ada dari anggota supporter itu sendiri?
Nggak bisa. Bicara sepak bola harus lihat kiblatnya. Bicara bahasa sepak bola sama di mana pun. Jadi, tahu jawabannya kalau sudah nonton ke lapangan minimal sepuluh kali.

Batesan prilaku supporter di lapangan itu apa?
Kalau main di sini ada polisi. Cuma saya kalau sudah parah antara polisi dan anak-anak berantem baru saya yang menenangkan.

Bagaimana kalau lempar-lempar botol?
Ya kalau lawan Persija nggak apa-apa, kalau lawan yang lain nggak boleh.

Kenapa diskriminatif begitu?
Ya karena Persija musuh kita, itu harus dilestarikan. Itu uniknya dalam sepak bola.

Apa ini bentuk aplikasi fanatisme yang berlebihan?
Iya, memang fanatisme yang berlebihan, dalam sepak bola seperti itu.

Tetapi, bukankah segala sesuatu yang berlebihan itu tidak bagus?
Ya memang nggak bagus.
Kenapa biar nggak bagus tetap dijalankan?
Ya nggak apa-apa, karena sepak bola itu pengecualian.

Tetapi kan imbasnya ke pemain?
Itu resiko sepak bola. Contohnya, pemain termahal Robinho, itu sampai ibunya diculik. Drogba dan Jhon terry itu di Bandara diludahi, itu pemain Chelsea, pemain kelas dunia. Itu di dalam sepak bola adalah resiko, karena kita adalah satu kesatuan. Supporter itu adalah pemain ke-12. Disaat pemain merasa tersakiti tidak bisa mengungkit supporter. Dan supporter juga tidak bisa menuntut ke pemain. Karena semua adalah satu kesatuan.

Waktu pemain Persib datang ke Lebak Bulus dan diserang. The jak mendapat hukuman. Akan tetapi, hukuman yang dijatuhkan tersebut tidak sama saat Viking juga menyerang pemain Persija yang datang ke Siliwangi. Hukuman yang dijatuhkan pada Persib cenderung memihak. Apa benar PSSI pilih kasih terhadap Persib?
Ya karena PSSInya di Jakarta. Emang PSSI pilih kasih sama Persib. Memang PSSI belum bener, ketuanya dipenjara. Memang perlu revolusi pergantian total di dalam tubuh PSSI. Itu yang harus dibenahi kalau sepak bola Indonesia mau maju. Bila perlu saya waktu itu pernah menulis di koran bahwa kita itu perlu konsultasi bila perlu bawa aja orang dari Itali atau Inggris untuk digabungkan dengan orang kita terus dibikin organisasi, itu akan lebih baik.

Itu pernah anda ajukan ke PSSI ?
Ya, tapi ngga ada respon.
Waktu persib berada di zona degradasi, tiba-tiba sistem degradasi ditiadakan karena alasan tim Yokyakarta sedang terkena musibah bencana. Apakan ini salah satu bentuk pilih kasih PSSI terhadap Persib?
Emang PSSI harus di rombak total. Disatu sisi memang waktu itu orang Sleman itu sudah tidak mikir bola lagi, silakan mau dicoret atau apa. Dan kalau sampai Sleman dan Jogya mundur waktu itu, itu akan mengganggu sistem penilaian yang sudah ada. Waktu itu kan pertandingan belum habis jadi penilaian kacau. Dan itu harus dihentikan karena Jogya mengundurkan diri. Dan ada beberapa tim juga divisi 1 dan 2 jogya yang mengundurkan diri. Dan itu sangat mengganggu penilaian

Jadi anda merasa keputusan itu bukan untuk keuntungan Persib?
Memang harus, secara logika tim yang melawan Sleman itu nilainya harus dibagaimanakan, dikurangi, ditambah atau bagaimana. Lalu yang belum main bagaimana?

Bagaimana pendapat anda sehubungan dengan Persib yang kalah mulu?
Ya, namanya sepak bola, sah-sah saja. Jangan kan Persib, AC Milan aja terpuruk, jadi nggak apa-apa.

Apa anda kecewa?
Ya, kecewa. Jadi, kita memberikan usulan pada tim pelatih dan managemen.

Usulan seperti apa?
Ya, kekurangan di lini belakang diganti lini belakangnya, bukan membawa pemain asing dan lini tengah. Dan kita suka diskusi.

Bagaimana hubungan anda dengan para pemain?
Kalau sama pemain, saya jaga jarak, nggak boleh deket. Jadi, sama idola itu nggak boleh deket. Kalau sama idola sudah ngomong lo-gua, itu sudah nggak bener. Tapi saya juga suka ngobrol.

Sekarang kan Arcan Yuri diganti dengan lima assisten pelatih. Menurut anda apa keputusan ini sudah efektif?
Kalaupun mendatangkan Fabio Capelo tetap saja seperti ini. Karena nggak bisa mendadak. Sistem harus dari awal. Sekarang mah targetnya Persib lolos aja Super liga dulu.

Kalau delapan besar?
Kalau depan besar kita sudah hampir tertutup, jadi kita lolos saja Superliga sekarang. Jadi, minimal tahun depan kita nggak ketinggalan.

Bagaimana anda melihat persepakbolaan di Indonesia secara keseluruhan?
Sepak bola Indonesia mah mending seperti ini aja. Nggak usah kepentas sepak bola dunia menurut saya. Yang harusnya kepentas dunia mah sudah ada, bandminton.

Berarti pesimis sama prestasi.
Sudahlah, nggak bisa. Toh orang Brazil dan orang Argentina pun nggak mungkin lolos piala Thomas. Iya memang pesimis.

Bagaimana dengan supporter di Indonesia?
Nah, kalau supporter ada pembelajaran. Kalau dulu supporter itu nggak nerima kalau kalah dikandang. Kalau di Bandung kalau kalah di kandang itu selalu kerusuhan. Sekarang sudah nggak ada kerusuhan. Jadi, itu sudah kemajuan. Cuma sekarang larinya ke mabuk kalau kalah, kalau dulu kan merusak.

Waktu itu pernah ada kejadian orang yang plat motornya B, dipukuli oleh pendukung Persib. Padahal kan ia tidak tahu apa-apa. Bagaimana anda menanggapi hal tersebut?
Ya, itu karena fanatisme itu.

Tetapi kan itu salah
Iya, segala yang berlebihan salah

Apa tindakan anda menanggapi hal tersebut?
Mungkin ditanya dulu merekanya. Ada mobil dipukulin kacanya. Kenapa mereka. Misalnya karena mereka disuruh minggir nggak mau, ya sudah nggak apa-apa pukulin. Kalau tiba-tiba nggak salah terus mukulin, tangkep aja anak Vikingnya.

Jadi kan imbasnya bukan hanya ke pemain dan supporter saja, tetapi juga orang biasa.
Ya, nggak apa-apa. Dulu saja yang menyuruh plat mobil jakarta nggak boleh masuk ke Bandung. Waktu weekend kan banyak orang Jakarta yang kesini. Terus kita stop di jalan Pasteur, kita suruh pulang lagi.

Apa arti sepakbola bagi anda?
Ya, seperti itulah, bila perlu menghalalkan segala cara demi sepak bola. Misalnya ada anak viking nggak punya uang untuk nonton delapan besar di Medan waktu itu, dia mencuri emas ibunya. Kata anak-anak di sini nggak apa-apa yang penting bisa nonton.

Kalau untuk anda sendiri, apa yang sudah anda korbankan untuk Viking?
Ya waktu ditahan polisi dan di Komdak

Apa arti Viking bagi anda?
Karena Viking saya yang mendirikan, jadi ya ngalir aja.
Sekarang juga banyak kan perempuan yang nonton bola. Bagaimana tanggapan anda?
Ya bagus, karena dulu kalau ada cewe datang ke Siliwangi itu riskan bahaya, kalau sekarang dengan adanya Viking girl jadi bagus lah

Ada perlindungan khusus buat mereka?
Ada, sekarang juga sudah mulai terbiasa. Kalau dulukan ganjil kalau ada perempuan di Stadion. Jadi sistemnya kalau di luar melindungi anak kecil sama cewe. Kalau ribut itu sudah sering, jadi sudah ngertilah.

Istri anda tidak marah kalau anda sering ditangkep atau ikut bentrokan?
Istri saja juga dulu suka lempar-lempar polisi. Dulu saya ketemu istri aja di stadion. Dan disini banyak juga yang menikah karena sama-sama Viking.

Anak juga suka diajak nonton?
Iya.

Ada ngga pengaruh terhadap cara anda mendidik anak?
Ya Persib ngaruh juga ke anak saya, ya nanti lihat sajalah. Kalau untuk ke depan belum keliatan kan baru lima tahun.

Bagaimana tanggapan istri, saat anda memberi nama Jayalah Persibku?
Nggka apa-apa, malah seneng. Katanya namannya bagus.

Apa komentar Jaya kalau liat ayahnya mimpin di atas?
Ya pingin ikut di atas, tapi kan nggak boleh takut jatoh.

Punya keinginan agar anak anda jadi panglima juga?
Bebas saja, kalau, nyuruh-nyuruh bahaya atuh saya dilaporkan ke komnas anak. Biarkan aja mau jadi apa.

Kenapa di panggil ayi ”Beutik”?
Itu mah julukan aja. Beutik itu nama orang. Jadi dulu itu ada bapak-bapak tinggi besar. Pas saya tumbuh dewasa saya kaya dia, makanya dipanggil Beutik. Nggak apa-apa julukan aja.

Masih suka manjat tebing?
Masih, paling dua bulan. Kalau kangen manjat lagi. Saya yang pertama awal olahraga panjat tebing saya ikut ngedirin juga panjat tebing di Indonesia.

Hobi lainnya apa sekarang?
Main bola dan sekarang mah ngurus anak. Minggu waktunya, kalau nggak ada persib maen waktunya sama keluarga.

Kalau disuruh pilih pekerjaan dan Viking, pilih mana?
Karena kerjaannya nggak mengikat, jadi saya teruskan

Arti keluarga buat anda?
Segala-galanya.

Bagaimana seandainya keluarga minta akang berhenti?
Ya, ngga mungkin. Istri saya anak Viking juga, suka nonton bola juga. Dia sangat ngerti. Kalau saya ditangkap polisi sudah ngerti. Waktu itu saya nggak pulang karena ditangkap polisi gara-gara mukul wasit di sini, ditahan sudah ngerti. Ditelpon sama saya, ditahan di Polwil, sudah ngerti. (sambil tertawa).

Suka kasian inget keluarga ngga, kalau lagi bentrokan?
Iya, kalau sekarang, semenjak punya anak jadi iya. Kalau dulu mah nggak, di depan aja, selalu ditangkap polisi. Paling sekarang ingetin anggota yang kecil. Ngingetin anggota Viking yang kerasnya. Tapi, kalau lagi berantem di mana pun selalu ngingetin. Karena sekarang udah punya anak jadi inget.

Bagaimana misalnya sudah terlanjur dalam bentrokan, tetapi lalu inget keluarga?
Ya tanggung terus aja, tapi minimal ada rem.

Pernah mikir mau berenti?
Nggak, karena semenjak Viking berdiri sampe sekarang belum pernah juara Persib. Tahun 1994 persib juara, tapi Viking belum rame. Jadi kurang terasa geregetnya, dan sampe sekarang belum juara lagi. Dulu waktu sebelum nikah, saja saya mau nikah kalau persib juara, tapi persibnya teu juara-juara. Umur sudah mau 40 tahun, akhirnya, umur 37 udahlah nikah aja, nanti kalau Persib juara baru syukuran lagi. Semuanya gitu, kalau persib juara syukuran lagi.

Terus kapan mau berhenti?
Kalau nggak ada Persib ya berhenti, sampai bubar Persib. Kalu Persib nggak bubar ya terus aja.

Apa obesinya sekarang?
Ingin Persib juara, udah nggak ada lagi obsesi saya. Ya, istri saya kan kerja ngajar, jadi cukuplah jadi pegawai negeri jadi tenang

Kalau anda melihat diri anda sendiri bagaimana?
Jadi, saya mah merasa berdosa karena perseteruan antara Viking dengan The Jak gara-gara saya. itu aja, selalu merasa berdosa.

Apa sudah puas sama Viking yang sekarang?
Viking ini di Indonesia dijadikan proyek percontohan. Saya pernah disuruh me-manage supporter Semen Padang. Saya pernah ke Ujung Pandang untuk menerangkan seperti apa Viking, yang menghasilkan uang dari merchandise. Mereka belajar dari situ. Salah satu contoh, Viking sudah mengeluarkan tiga album kompilasi Persib, yang semuannya band-band lumayan lah. Itu, nggak ada di Indonesia yang bikin album kompilasi, paling mereka bikin album yang nyanyian-nyayian di lapangan, tapi grup bandnya nggak ada. Ya, kalau hal-hal dalam sepak bola sudah cukuplah. Karena patokannya kita sering diminta sebagai proyek percontohan.

Harapan kedepannya buat Viking?
Nunggu persib juara. Untuk supportenya, udah beberapa kali punya harapan untuk punya stadion sendiri ya karena di sini sudah tidak memenuhi. Ya harapannya, ingin jadi lebih baik lagi. Karena kita masih sering kena sangsi. Jadi, kita terus menekan kerusuhan di lapangan agar tidak kena sangsi. Misal, mencegah pelemparan. Tetapi kalau di luar ada bentrokan nggak apa-apa. Karena sangsi itu hanya di dalam lapang saja.


Identitas narasumber :
Nama : Ayi Suparman
Panggilan : Ayi Beutik
Pendidikan : Geodesi ITB
Asal : Bandung


Becak Makin Tersingkir

Beberapa tukang becak terlihat santai duduk di becak sambil menunggu penumpang. Hilir mudik kendaraan di Jalan Surapati Bandung berbanding terbalik dengan jarangnya para tukang becak ini memperoleh penumpang. Di depan Pasar Cihaurgeulis inilah mereka menggantungkan hidupnya dari mengayuh becak.

Tepat di depan pintu masuk pasar, seorang bapak berumur 53 tahun yang biasa disapa Casam terlihat duduk sambil memperhatikan para pengunjung pasar. Setiap hari, ayah dari satu orang anak ini berburu penumpang untuk mendapatkan rupiah demi memenuhi kebutuhan keluargannya.

Senin itu, hingga pukul 15.00 ia belum juga mendapatkan penumpang. Agar memeroleh penumpang, ia harus rajin mencari penumpang. Berbeda dengan komplek perumahan yang sistemnya urutan, sistem dalam memperoleh penumpang becak yang digunakan di pasar ialah berdasarkan siapa yang cepat melihat penumpang yang ingin naik becak. “Kalah mata kalah uang,” ujar Casam.

Namun, bukan berarti ia malas mencari penumpang. Hari itu pasar memang sepi sekali. Ia mengeluhkan semakin hari penumpang becak semakin sepi. Sudah satu setengah tahun ini ia mengayuh becak di pasar Cihaurgeulis. Sebelumnya juga bekerja sebagai tukang becak di Pasar Sederhana, Sukajadi Bandung.

Tetesan keringatnya mengayuh becak setiap hari rata-rata menghasilkan 35 ribu rupiah. Namun, itu belum termasuk untuk makan. Dalam sehari ia makan dua kali. Untuk satu kali makan, ia harus mengeluarkan uang lima ribu rupiah. “Uang segitu belum buat makan, ngerokok sama ngopi,” jelas laki-laki asal Cilacap ini.

Jika ia beruntung, ia bisa menabung 20 ribu rupiah satu hari. Namun, ia mengeluhkan semakin hari pendapatannya semakin berkurang. Uang hasil kerja kerasnya mengayuh “si roda tiga” juga harus di bagi-bagi lagi untuk membayar sewa kontrakan dan membiayai anaknya sekolah.

Casam tinggal sendiri di rumah kontrakan berukuran 1,5 x 2 meter. Setiap bulannya ia harus mengeluarkan uang 90 ribu rupiah untuk tempatnya tidur. Di Kamar yang relatif kecil itulah ia tidur dan melepaskan lelah. Tanpa istri disampingnya, ia harus mengerjakan segala sesuatunya sendiri termasuk mencuci baju.

Ketika azan subuh mulai berkumandang, ia harus bangun dan bersiap bekerja dengan kendaraan andalannya. Sejak pukul 05.00 hingga 17.00 ia banting tulang dengan peluh keringat mengayuh becak. Tanpa kenal lelah, ia terus bekerja demi anak dan istrinya. Di Cilacap istrinya bekerja sebagai pembantu. “Istri saya jadi pembantu. Gajinya kecil cuma 350 ribu,” ujarnya.

Casam lebih memilih bekerja di kota karena menurutnya gaji di desa jauh lebih kecil. Meskipun haris mencari nafkah jauh dari keluarga, ia rela demi keluarga. “Di desa mah gajinya kecil. Di sini juga kecil sih, tapi ngga separah di desa,” ujarnya.

Sebelumnya ia pernah bekerja sebagai penjaga pondokan. Menurutnya, penghasilannya itu kurang dan tidak sesuai dengan pengeluaran. “Dulu saya pernah kerja jaga kosan di Yogja. Digaji Cuma 350 ribu, “ujarnya.

Setelah pindah ke Bandung, ia mengaku penghasilannya membaik. Selama sepuluh tahun ia bekerja di Pasar Sederhana ia merasa uang yang diperoleh cukup untuk menghidupi keluarga dan membiayai anaknya sekolah. Namun, seiring waktu, ia mengeluhkan berkurangnya pendapatan tukang becak. “Setelah zaman Soeharto, narik becak semakin sepi,” ujarnya.

Menurutnya, semakin banyaknya kendaraan pribadi membuat keberadaan becak sebagai angkutan umum jadi tersingkir. “Sekarang ibu-ibu yang belanja sudah pada bawa motor. Ada juga yang tinggal telpon pake Hp terus dijemput,” ujarnya.

Namun, ditengah perasaan kekurangan ekonomi itu, Casam masih bersyukur dengan keadaan keluargannya khususnya anaknya. Anak satu-satunya kini kuliah di IKIP Karang Malang. “Anak saya pagi kerja di Yayasan, siang baru kuliah. Ya, alhamdulilah ada tambahan, kalau ngga gitu ya mana mungkin bisa kuliah,” ujarnya.

Kondisi Casam tidak jauh berbeda dengan Okid yang tersingkir oleh keberadaan motor yang semakin banyak. Namun, laki-laki kelahiran tahun 1947 ini kini sudah berhenti mengayuh becak. Sudah dua bulan ia memutuskan untuk tidak mencari nafkah dari kendaraan tradisional itu.

“Kadang dari pagi sampai siang masih duduk-duduk aja di becak. Ngga ada penumpang,” ujarnya. Okid mengungkapkan, kini dirinya tidak mampu lagi bersaing dengan tukang ojeg. Orang lebih memilih ojek motor karena lebih cepat. Keadaan inilah yang membuatnya terpaksa berhenti menjadi tukang becak. Dari pada harus membayar uang sewa sebesar empat ribu rupiah tanpa mendapatkan penghasilan, ia memutuskan lebih baik berhenti.

Keadaan ekonomi keluarganya semakin tidak stabil karena istrinya Rohayati kini juga jarang sekali berjualan karena sakit. Biasanya rohayati juga membantu mencari nafkah untuk keluarga. Sehari-hari Rohayati berjualan surabi dan gorengan di dekat rumahnya. “Yah, jualan juga sepi. Kadang bikin lontong satu liter juga ngga habis. Sekarang mah semua serba susah,” ujar Rahayati dengan nada lemas.

Kini Okid hanya mengandalkan panggilan untuk mengebor sumur dan sesekali menjadi kuli bangunan, itu pun kalau ada yang membutuhkan. Untuk makan sehari-hari keluarga Okid dibantu oleh anak tertua mereka yang bekerja di toko baju dengan gaji 600 ribu rupiah.

Dalam sehari mereka harus mengeluarkan uang 25 ribu rupiah untuk memenuhi kebutuhan makan. Uang tersebut habis untuk memberli beras satu liter dan lauk pauk. “paling makan cuma pake nasi tempe tahu,’ ujar Rohayati.

Okid dan Rohayati memiliki tiga orang anak. Di rumah berukuran tak lebih dari 3 x 3 meter mereka tinggal bersana. Rumah itu di tambah lantainya, jadi dua lantai. Di lantai bawah untuk Okid dan lantai atas untuk ketiga anak mereka.

Di depan rumah terdapat kamar mandi yang sangat kecil, hanya berukuran kurang dari 1x1 meter. Mereka menggunakan pompa untuk mendapatkan air. Di samping kamar mandi terlihat tumpukan kayu bakar untuk memasak. “Sekarang minyak mahal, Rp.7000 se-liter,” ujar rohayati.

Selain sesak dengan kamar mandi, pompa air, dan tumpukan kayu bakar, depan rumah Okid juga terdapat kandang burung yang berisi sekitar enam burung. Sisa luas jalan di depan rumah mereka hanya kurang dari satu meter, itu pun dikurangi lagi dengan bangku-bangku.

Suara bising kereta yang lewat tepat di depan rumah mereka sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Tanpa listrik yang menerangi, mulai pukul 05.30 sore rumah mereka sudah gelap. Malam-malam mereka hanya diterangi oleh lampu petromak atau pun lilin.

“Kalau anak ingin nonton TV ya numpang di tetangga. Kalau belajar juga cuma pakai lilin,” ujar Okid dengan suara pelan. Okid dan Rohayati mengeluhkan keadaan hidup yang semakin susah. Namun, semangat masih terlihat dari senyum mereka. “Ada sih tetangga yang nyuruh nyolok listrik, tapi saya mah ngga mau, ngga enak,” ujar Rohayati yang terlihat lemas karena sakit.

Sebenarnya mereka ingin pasang listrik, namun takut tidak mampu membayar. “Dari pada jadi omongan tetangga karena ngga bisa bayar, lebih baik ngga usah masang,” ujar Rohayati.

Harus Ada Aturan dan Kebijakan

Seiring bertambah banyaknya sepeda motor, nasib tukang bacak pun semakin terancam. Seperti yang dialami Casam dan Okid, pendapatan mereka kian berkurang karena kalah bersaing dengan motor. Menurut Sosiolog Unpad Budi Rajab, fenomena ini adalah kondisi yang biasa terjadi. “Bisa saja hal-hal yang tradisonal seperti becak itu berkurang dan digantikan oleh yang baru,” ujarnya.

Motor sebagai salah satu teknologi transportasi yang kini menjadi pilihan banyak orang turut memberikan dampat negatif bagi para tukang becak. Budi mengatakan berkembangnya teknologi transportasi ini sesunggunya hal yang biasa. “Teknologi itu sendiri sendiri kan netral tergantung untuk siapa dan digunakan untuk apa. Misalnya motor tidak digunakan unutk mengangkut orang, tentu tukang becak tidak akan tersaingi. Jadi penggunaannya yang jadi masalah, bukan teknologinya,” ujarnya.

Apa yang dialami oleh Casam dan Okid serta sejumlah tukang becak lainnya merupakan hal yang wajar. Menurut Budi, penggantiang becak ke motor tidak masalah karena wajar saja jika yang lama-lama digantikan dengan yang baru. Yang menjadi permasalahan disini ialah aturan motor sebagai angkutan umum dan nasib tukang becak.

“Karena pemerintah tidak punya aturan tentang penggunaan teknologi transportasi. Motor digunakan untuk mengangkut penumpang dan dikenakan ongkos. Pada kondisi inilah teknologi menjadi tidak netral karena tidak ada aturan penggunaannya,” ujar Budi.

Ia sendiri tidak setuju motor sebagai angkutan umum karena bisa menyebabkan kerugian bukan saja bagi tukang becak tetapi juga angkutan lain seperti angkot (angkutan kota). Menurutnya, pemerintah bukan saja harus membuat aturan mengenai motor sebagai angkutan umum, tetapi juga pembatasan kepemilikan motor.

“Karena kebijakan pemerintah mendorong orang penggunaan motor, bukan membatasi. Sekarang pengunaan motor begitu bebasnya tanpa ada aturan. Sesungguhnya secara ekonomi hal ini sangat merugikan,” ujarnya.

Selain tidak setuju dengan ojek, ia juga tidak setuju dengan becak sebagai alat angkut. “Untuk ukuran tertentu becak itu tidak manusiawi untuk mengakut penumpang. Persoalannya bukan penghasilannya melainkan tenaga yang digunakan untuk mengayuh becak, ujarnya.

Menurutnya, untuk mengayuh becak dibutuhkan tenaga yang kuat. Untuk memperoleh tenaga yang kuat dibutuhkan makanan yang bergizi. Ia menyangsikan dengan penghasilan tukang becak yang sedikit untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut. Mengayuh becak kah berat sekali, jangan dipikir enteng,” ujarnya.

Dilihat dari unsur kemanusiaannya, Budi setuju jika becak dihapuskan. Namun, yang menjadi permasalahan kemudian adalah nasib tukang becak. “Pemerintah seharusnya memberikan peluang kerja bagi tukang becak,” ujarnya.

Lebih jauh ia mengatakan, pemerintah seharusnya memikirkan nasib rakyat kecil, seperti tukang becak ini dengan memberikan kebijakan serta aturan yang tepat. “Pemerintah jangan hanya ingin enaknya saja,” jelasnya.

Program yang paling efektif untuk menanggulangi kemiskinan ialah dengan memberikan peluang kerja dan pelatihan untuk orang miskin. Pemerintah juga harus memperhatikan program jangka panjang untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu dengan meningkatkan pendidikan.

“Tugas pemerintah ialah mencari program untuk melayani masyrakat dan menanggulangi kemiskinan,” tegasnya.

Teror Pendidikan dan Remaja Lewat Sinetron

Salah satu media yang paling banyak diminati adalah Televisi. Media ini banyak diminati karena lebih banyak memberikan hiburan dibanding media lain. Salah satu hiburan yang banyak digemari adalah sinetron.

Saat ini, masyarakat banyak disuguhi sinetron-sinetron remaja. Sinetron jenis ini umumnya ber-setting sekolah dan menggunakan seragam sekolah. Adegan-adegannya tidak sedikit yang melibatkan peran seorang guru.

Bagi masyarakat khususnya remaja, sietron remaja yang ada sekarang ini tentu menghibur. Namun, tanpa mereka sadari sebenarnya ada banyak kesalahan besar dalam sinetron-sintron seperti ini.

Sinetron remaja sering mengabaikan nilai pendidikan itu sendiri. Padahal seharusnya itu tercermin karena para pemerannya menggunakan seragam sekolah. Ada adegan dimana murid mengerjai guru, murid berkata kasar, murid jatuh cinta pada guru dan masih banyak adegan lain yang membuat arti pendidikan menjadi tercoreng.

Dari pakaian yang digunakan para artisnya juga memberikan kesan yang tidak baik. Misalnya saja, siswi yang menggunakan seragam sekolah dengan ukuran yang sangat kecil, seperti rok mini. Padahal pada kenyataannya, tidak ada sekolah yang memperbolehkan muridnya berpakaian tidak sopan.

Jalan cerita yang disuguhkan juga tidak jauh dari cerita cinta. Memang mungkin cerita tentang cinta adalah cerita yang paling banyak diminati penonton. Tetapi, apakah hanya cerita tentang cinta yang bisa diangkat? Apakah efek yang ditimbulkan pada penonton? Salah satu kunci suatu tanyangan memiliki pesan yang baik adalah dengan memikirkan efek yang ditimbulkan pada penontonnya.

Para pembuat sinetron juga harus memikirkan dengan baik bagaimana cara menyajikan suatu hiburan tanpa mengesampingkan nilai-nilai kebaikan dan pendidikan. Jangan sampai sinetron yang ber-setting dunia pendiikan justru tidak memiliki nilai pendidikan.

Kesan dan settingan yang ditimbulkan dalam sebuah sinetron remaja sering kali hanya gambaran akan kemewahan. Sosok remaja yang digambarkan disinetron remaja juga seolah hanya berkutat soal percintaan dan persaingan. Padahal ada banyak sisi yang bisa digali oleh pembuat sinetron untuk menumbuhkan jiwa muda pada remaja untuk berkembang menjadi remaja yang berkualitas.

Sebagai sebuah media yang dinikmati banyak orang, televisi harus konsisten dengan fungsinya sebagai media, yaitu pendidikan, informasi, dan hiburan. Dan sinetron yang tercakup didalamnya harus menginterpretasikan fungsi media tersebut. Suatu sinetron harus memiliki pesan yang bukan hanya menghibur, tetapi juga mendidik.

Remaja adalah masa depan bangsa. Pendidikan adalah modal pembangunan bangsa. Keduanya adalah modal besar demi terciptanya bangsa yang hebat. Jadi, harus ada perpaduan antar keduanya agar tercipta moralitas remaja yang berpendidikan. Sebenarnya, sinetron adalah sarana yang tepat karena disajikan dengan bukus hiburan dan memiliki kandungan pesan yang dapat langsung di pahami oleh penontonya.

Oleh sebab itu, bagi para pembuat sinetron diharapkan membuat suatu tanyangan yang berkualitas, baik dari segi penyajian dan pesan yang disampaikan. Nilai-nilai pendidikan, empati, religi, kepedulian dengan sesama dan realitas kehidupan harus lebih ditonjolkan. Jangan sampai penonton terdoktrin dengan kisah cinta remaja dan kekayaan yang selalu digambarkan dalam sinetron.

“Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari”

Indonesia sebagai negara berkembang memang seolah tidak pernah berhenti menghadapi berbagai masalah. Korupsi, kemiskinan, dan kesulitan ekonomi hanyalah segelintir masalah dari sekian banyaknya masalah yang harus diselesaikan Indonesia. Disadari atau tidak, masalah-masalah tersebut saling berkaitan satu sama lain.

Pendidikan, adalah salah satu akar dari masalah-masalah tersebut. Berbagai pakar mengatakan bahwa pendidikan adalah hal mendasar yang harus diperbaiki untuk memajukan Indonesia. Namun, pada kenyataannya banyak hal yang terlupakan. Masalah utamanya bukan sekedar pada anggaran pendidikan tetapi bagaimana pendidikan itu dilaksanakan.

Beberapa hari ini berita mengenai kekerasan guru terhadap muridnya terus menghiasi media massa. Guru di SMK Gorontalo menampar belasan murid karena kesal. Ada lagi, seorang guru SD menjedotkan muridnya hingga giginya patah. Bahkan mungkin masih ada kekerasan lain yang tidak diketahui.

Apapun alasannya seorang guru tidak boleh melakukan tindak kekerasan sedikitpun terhadap muridnya. Ada dampak yang begitu besar dari permasalahan ini yaitu kemerosotan mental bangsa dan pendidikan sebagai akar dari berbagai masalah terancam kekokohannya.

Lalu bagaimana ingin mengatasi kemiskinan, korupsi, kejahatan jika pendidikan sebagai fondasinya sudah mulai terkikis oleh sikap premanisme? Pertanyaan itulah yang harus dijawab oleh nurani para guru.

Guru yang seharusnya menjadi teladan bagi para muridnya justru menjadi momok menakutkan. Kekerasan yang mencoreng martabat dunia pendidikan ini harus ditindak tegas agar tidak terulang lagi. Pemerintah sebagai instansi resmi harus membuat aturan tegas tentang kelangsungan proses pendidikan.

Hal lain yang sepertinya kurang diperhatikan dalam dunia pendidikan adalah mengenai sikap dari siswa. Jika guru sudah tidak memberi contoh yang baik bagaimana bisa siswanya menjadi siswa yang baik. Pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” sangat jelas memberi gambaran betapa guru sangat mempengaruhi sikap siswanya.

Sekolah adalah sarana siswanya memperoleh ilmu serta pembentukan diri. Jadi, tak sepantasnya ada kekarasan yang menghiasi pendidikan. Contoh sikap baik yang diberikan guru adalah bekal bagi siswa.

Materi yang diajarkan tidak hanya terbatas pada ilmu melainkan juga sikap dan moral yang harus dimiliki siswa. Hal ini penting untuk pembentukan jati diri siswa di masa yang akan datang.

Jika guru dengan mudah menampar siswa karena kesal, bukan tidak mungkin siswa pun akan melakukan hal serupa ketika ia sedang kesal. Segala bentuk kegiatan di sekolah merupakan pembelajaran bagi siswa. Dan segala yang terjadi pada siswa ketika di sekolah akan mempengaruhi kehidupannya di masa yang akan datang. Kasarnya, jika tidak ingin siswanya menjadi preman, maka janganlah mendidikannya dengan cara preman.

Jadi, guru tak hanya memberikan teori tetapi juga mencontohkannya agar siswa yang dididiknya mampu menjadi siswa yang berpendidikan dari segi ilmu dan sikap